Travel / What to do

Mulai Dibuntuti Orang Utan sampai Nengok “Jejak” Beruang

Pengalaman seru menyusuri hutan Bukit Lawang di Sumatera Utara.

Melihat Orangutan bukan hal yang sulit dilakukan di kota-kota besar di Indonesia. Tinggal main saja ke kebun binatang. Tapi, beda ceritanya kalau bertemu mereka di “rumah” aslinya di hutan. Rasanya jauuuhhh lebih seru dan menantang. Inilah yang saya rasakan ketika mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuser di Bukit Lawang bersama sejumlah teman. Begini ceritanya… 🙂

Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser

Kami berangkat dari Jakarta ke Medan menggunakan pesawat paling pagi, kemudian menyempatkan diri untuk lebih dulu sarapan lontong Medan di Kedai Kak Lin (Baca tulisannya di sini) plus belanja berbagai camilan untuk dihabiskan selama liburan. Setelah urusan di kota selesai, kami langsung tancap gas ke Bukit Lawang. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam.

Hari pertama di Bukit Lawang kebanyakan kami habiskan untuk beristirahat, mengobrol dengan penduduk setempat, sembari melihat pemandangan hutan yang sejuk dan hijau dari penginapan kami yang sederhana tapi indah. (Nanti, di bagian bawah tulisan ini, saya juga akan ceritakan tentang serunya tempat tinggal kami.)

Setelah berbincang dengan penduduk setempat, kami diberi tahu bahwa ada dua jadwal untuk mengunjungi orangutan. Mereka biasanya akan berkumpul di satu lokasi di pagi hari sekitar pukul 9 dan sore hari sekitar pukul 3. Jadi, kami harus memulai trekking sebelum jam-jam tersebut.

Bang Baik, ranger kami, di tengah hutan Taman Nasional Gunung Leuser

Ada berbagai pilihan untuk trekking, dari yang cuma enam jam, 12 jam, seharian plus camping, sampai yang camping seminggu. Semakin lama di dalam hutan, semakin banyak yang bisa lihat. Sebagai geng beginner dalam hal trekking, kami memilih yang hanya enam jam.

Keeseokan paginya, kami semangat sekali untuk trekking. Ranger kami, Bang Baik, mengingatkan bahwa kami belum tentu akan bisa bertemu orangutan. “Di sini, orangutan tidak boleh diatur. Mereka memang dibiarkan hidup liar sebagaimana seharusnya. Jadi, kita juga tidak bisa memaksa mereka berkumpul di satu tempat di jam tertentu. Kami hanya melihat kebiasaan mereka saja biasa berkumpul di titik mana. Kalau mereka sedang tidak di sana, kita tidak bisa memaksa,” jelas Bang Baik.

Setelah melalui proses trekking mendaki yang agak panjang dan bikin kaki pegal (maap, masih beginner), kami sampai juga di titik yang dimaksud Bang Baik. Di situ, kami menunggu penasaran apakah orangutan akan datang atau nggak.

Para turis sudah siap membidik, berjaga kalau Orangutan tiba-tiba muncul.

Sayangnya, yang banyak mampir adalah monyet-monyet dan Siamang. Sampai sekitar satu jam menunggu, kami nggak melihat penampakan orangutan. Turis-turis yang ada di sana pun (termasuk kami) sudah mulai gelisah dan kecewa. Bang Baik kemudian mengajak kami melanjutkan trekking untuk melihat isi hutan lainnya.

Perjalanan jauh lebih mudah daripada ketika mendaki di awal trekking. Kami naik-turun bukit melewati pohon-pohon mengikuti arah yang dituju Bang Baik. Perjalanan trekking ini jelas nggak mungkin tanpa bantuan ranger.

Trekking itu cukup menyenangkan karena kami bisa melihat pohon yang umurnya lebih dari 100 tahun, melewati sungai kecil yang airnya sangat segar, melihat tanaman-tanaman yang belum pernah kami lihat, dan masih banyak lagi. Tapi, hati masih belum puas karena belum bertemu orangutan.

Sampai akhirnya kami mendengar sedikit keributan di salah satu sisi hutan. Ada suara beberapa orang yang berbisik-bisik. Kami pun mempercepat langkah menuju ke arah itu. Dan ternyata itu adalah beberapa turis yang melihat orangutan! Yeay, akhirnya kami bertemu dengan mereka…

Pohon Damar berusia 100 tahun lebih

Orangutan yang kami lihat pertama kali ada dua: Ibu dan anaknya. Kami pun mulai berfoto-foto sambil tetap menjaga jarak.

“Hati-hati yah. Orangutan yang ada di sekitar sini memang dulunya dipelihara penduduk, tapi sudah dikembalikan ke hutan dan sekarang mulai menjadi liar. Jadi, mereka bisa saja berbahaya,” ingat Bang Baik. “Plus, mereka sangat suka dengan tas. Jadi, jangan letakkan tas di punggung karena mereka bisa mengejar dari belakang,” tambahnya.

Setelah puas mengambil foto, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, sepertinya kedua orangutan itu masih belum rela melepaskan kami. Ketika kami berjalan menjauh, mereka mengikuti dari belakang.

Dua orangutan yang membuntuti kami

Bang Baik pun menyuruh kami bergerak agak lebih cepat, walau jangan sampai membuat gerakan mengejutkan. Dia juga menyuruh supaya kami nggak melihat ke belakang. Tapi, kedua orangutan itu masih terus mengikuti kami. Kami pun mulai agak panik.

Bang Baik kemudian meminta seorang teman ranger-nya untuk mengalihkan perhatian kedua orangutan. Bang Baik membawa kami terus berjalan, sementara si teman memancing orangutan untuk ke sisi jalan lain. Barulah kemudian mereka nggak membuntuti kami.

Ternyata, pertemuan dengan orangutan belum selesai. Yeay! Kami masih bertemu dengan tiga orangutan lain. Kali ini, mereka tampak sedang beristirahat di atas pohon. “Normalnya, orangutan di Sumatera memang tinggal di atas pohon, bukan di tanah seperti orangutan di Kalimantan,” jelas Bang Baik. “Sebabnya, di Sumatera ada risiko dimangsa harimau. Sementara di Kalimantan tidak,” katanya.

Yang menarik, ketiga orangutan itu tampak sedang menyiapkan tempat istirahatnya. Mereka dengan pintar merangkai ranting dan dedaunan untuk menjadi semacam tempat tidur yang nyaman. “Kalau sedang hujan, mereka juga mencari daun yang lebar sebagai atap,” kata Bang Baik.

Persiapan sebelum tidur, si anak minta dimanjain dulu :p

Setelah puas memotret-motret lagi, kami pun melanjutkan perjalanan menuju penginapan. Dan pengalaman yang kami dapatkan masih belum habis.

Dalam perjalanan pulang, kami melihat sebuah pohon dengan bekas cakaran beruang. Dan ini adalah pengalaman pertama saya melihat cakar beruang di pohon, yang berarti si beruang pernah berada di sekitar kami berdiri. Nggak jauh dari pohon itu, ada juga rumah lebah yang sudah jatuh ke tanah. Kemungkinan besar, lebah itu memang yang diincar si beruang.

Bang Baik kemudian memeriksa bentuk sarang lebahnya, lalu… “Ambil jalan agak memutar yah… Jangan dekati sarang lebah itu. Itu lebah yang sepertinya mematikan. Bahaya,” katanya.

Bekas cakaran beruang madu

Sarang lebah yang mematikan

Kami pun melanjutkan perjalanan sampai akhirnya kembali ke penginapan. Perjalanan di Hutan Bukit Lawang memang memberikan pengalaman yang luar biasa buat saya karena bisa melihat langsung kehidupan liar Taman Nasional Gunung Leuser.

“Kalau lebih lama lagi di hutan, misalkan seminggu dan masuk lebih dalam, mungkin bisa juga lihat harimau. Tapi, melihatnya cuma dari jauh. Harimau kalau tidak diganggu, mereka akan menghindari untuk bertemu kita. Jadi, tidak perlu khawatir,” ujarnya.

Kalau kamu pengen mencoba traveling yang agak sedikit menantang, Bukit Lawang merupakan pilihan menarik. Soalnya, masih ramah dengan beginner. Yuk, main ke Bukit Lawang!

Dari Bukit Lawang, kami kemudian pergi ke Tangkahan, sekitar 3 jam berkendara dengan mobil. Tunggu cerita kami bermain dengan gajah di sana yah!

Tinggal di “Rumah Pohon”

Penginapan sederhana yang bernuansa rumah pohon

Sesuai janji, saya akan cerita sedikit mengenai tempat tinggal. Ada beberapa hostel yang mengantongi feedback positif. Silakan cek di Tripadvisor. Kami tinggal di Green Hill. Yang membuat tempat ini seru adalah suasananya yang membuat kami merasa seperti tinggal di rumah pohon.

Ada beberapa lantai untuk kamar di Green Hill. Saya mendapatkan kamar yang paling atas, dengan suasana yang dikelilingi pepohonan. Dari teras kamar, saya bisa melihat lurus langsung ke hutan. Serunya lagi, hotel menyediakan hammock untuk masing-masing kamar. Rasanya menyenangkan sekali berbaring santai di hammock sembari mendengarkan suara alam, perpaduan air sungai, gesekan daun, suara monyet, dan masih banyak sekali. Nyaman banget!

Teras kamar plus hammock

Untuk bisa mendapatkan informasi dan contact person hotel, ranger, transportasi dan lain-lain, silakan kabari saya yah! Tenang, ini buat saya bukan untuk komersil kok, cuma membantu yang berminat saja 🙂

Tambahan tiga saran utama:
1. Untuk hotel, pastikan dipesan jauh-jauh hari. Sebab, penginapan di lokasi ini masih sangat jarang dengan jumlah kamar yang sedikit. Karena itu, disarankan jangan walk in.

2. Sejak jauh hari itu juga, persiapkan ranger untuk menemani selama trekking ke hutan. Hal ini diperlukan untuk memastikan ada ranger yang tersedia. Dan kalau membutuhkan ranger yang bisa bahasa asing, maka bisa dipersiapkan sejak awal. Ranger di Bukit Lawang ada yang bisa bahasa Perancis, Belanda, Jerman, dan lain-lain.

3. Sehari sebelum trekking, sempatkan bertemu dengan ranger untuk mendapatkan brief sebelum masuk hutan. Sebab, hutan ini adalah hutan lindung di mana kebanyakan satwanya dilatih untuk lebih liar. Selain briefing, pastikan juga mendapatkan pelatihan fisik sederhana dari ranger-nya supaya nggak “kaget” saat trekking.

Baca juga cerita seru jalan-jalan ke naik gajah di tengah hutan dan sungai Tangkahan, di sini.

Photos: Aziz Hasibuan, Fachrul Azhari, and Rudi Cahyadi.

– The Toilet Post

3 thoughts on “Mulai Dibuntuti Orang Utan sampai Nengok “Jejak” Beruang

  1. Pingback: Tangkahan, Surga Tersembunyi di Sumatera Utara |

  2. I’m curious to find out what blog platform you have been using? I’m experiencing some minor security issues with my latest site
    and I’d like to find something more safeguarded. Do you have any recommendations?

  3. Pingback: Orangutan Pose |

What do you think? Your comments are welcome...

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s