I have to make it clear in the very beginning: Saya bukan anak gunung. Bukan karena saya tidak suka dingin atau pemandangannya, tapi karena badan saya tidak pernah di-train untuk naik gunung dengan baik. Maka, perjalanan saya untuk pertama kalinya trekking naik gunung ke Gede Pangrango sekitar dua tahun lalu, gagal total.
Ketika itu, saya mengakhiri perjalanan dengan sumpah tidak akan mau lagi naik gunung. Turun gunung pun dengan hati dongkol yang pada akhirnya membuat perjalanan makin panjaaanggg dan lamaaa… Sumpah itu terus saya simpan dan tepati, sampai akhirnya, Papandayan menggoda saya untuk ingkar janji.
Adalah teman-teman saya di Blacktrailers yang kembali mencoba mengenalkan gunung. Mereka datang dengan sederet cerita dan foto keindahan Papandayan, juga tambahan gimmick bahwa kami akan makan enak di atas sana. Kala itu, persiapan untuk berangkat pun dibuat lebih matang secara fisik juga gear yang kami bawa.
Walaupun masih tetap saja jadi yang paling ketinggalan di rombongan, saya benar-benar puas dan ingin kembali naik gunung. Foto-foto ini akan membantu memberikan alasannya…
Gunung Papandayan sering dijadikan tempat untuk para pemula naik gunung. Saya nggak heran dengan hal tersebut karena memang jalur trekking-nya relatif lebih mudah. Ditambah dengan pemandangan yang cantik, biasanya pemula akan jadi lebih minat naik gunung setelah dari Papandayan. Saya termasuk salah satunya. Tapi, lain waktu di lain gunung, saya mungkin akan mempertimbangkan untuk memakai jasa porter. Hehehe.

Di waktu-waktu tertentu, Papandayan dikunjungi banyak pendaki. Tapi, keindahannya tetap tidak terganggu. Asal… jangan lupa bawa turun sampahmu!
Pemandangan malam hari di Papandayan juga spektakuler, terutama kalau langit sedang cerah. Kita bisa menikmati bintang yang kelap-kelip sembari rebahan di alam terbuka. Fyuh…
Di pagi hari, tentunya jangan lupa untuk bangun lebih awal untuk melihat sunrise. Kalau menginap di camping ground Pondok Saladah, teman-teman harus jalan dulu sekitar 10 menit ke Gober Hut. Pemandangan di situ terlihat lebih luas. Saya belum tahu apakah ada sisi lain yang juga cocok untuk melihat sunrise. Supaya tidak kesasar, sore hari sebelumnya saya sarankan cari jalan dulu ke Gober Hut sehingga ketika subuh tidak perlu buang waktu.
Lalu, setelah sarapan, barulah kami mulai berjalan-jalan di gunung. Ada dua bagian paling penting dari Papandayan: Hutan Mati dan Tegal Alun. Hutan Mati terjadi akibat erupsi tahun 2002 yang dahsyat di Papandayan. Pepohonan jadi mati, namun batang-batangnya masih berdiri tegak. Suasananya mistis, apalagi waktu berkabut.

Ketika di Hutan Mati, saya membayangkan seperti berada di setting cerita Harry Potter ketika Voldemort mulai kembali berkuasa…
Sementara itu, Tegal Alun adalah lapangan luas yang dipenuhi dengan bunga edelweis. Dulu, pendaki boleh camping di kawasan ini. Tapi sayangnya, banyak yang kurang bertanggung jawab dan memetik bunga edelweis hingga akhirnya bunga abadi ini habis. Sekarang, Tegal Alun ditutup untuk camping, tapi boleh didatangi dari pagi sampai sore hari. Kalau main ke sana, jangan memetik bunga edelweis yah!
Ketika sedang main di Tegal Alun, coba jalan agak jauh. Kami menemukan satu spot yang masih sepi dengan satu kolam kecil. Segar sekali karena ada sumber air di dekat situ. Seandainya lebih siap dengan membawa handuk dan pakaian ganti, sepertinya seru mandi di sana.
Jadi, gimana? Tertarik untuk mulai naik gunung? 😉 Kalau hati sudah mantap, jangan lupa baca tips dari pendaki pemula untuk pendaki pemula. (*)

Pose ala video klip 😀
Foto-Foto: Aziz Hasibuan
Pingback: Perjalanan Ingkari Janji ke Papandayan | Blacktrailers
Pingback: Tips Mendaki Seru dari Pendaki Pemula | Casual Hopper