
Roemahkoe Heritage Hotel dengan suasananya yang nglaras
Dua cangkir teh hangat duduk dengan manis di nampan milik Roemahkoe, hotel tempat kami menginap di Solo. Kepulan asap teh menari seolah menggoda kami untuk menghirupnya. Dengan gestur yang sopan, seorang pegawai hotel memindahkan dua cangkir hangat itu dari nampan ke meja kayu jati tua di depan kami. Mbak Ndari, salah seorang teman yang berbaik hati menjadi tuan rumah selama kami di Solo, menyarankan untuk segera mencicipi teh yang dia jamin enak itu. Kami menurut dan segera menyesap bibir cangkir.
Mbak Ndari tidak bohong. Teh -yang kemudian kami ketahui adalah hasil racikan hati-hati dari berbagai merek- itu rasanya luar biasa. Gabungan berbagai jenis teh itu memainkan orkestra yang cantik begitu menyentuh lidah.
“Dinikmati saja dulu tehnya. Jalan-jalan di Solo jangan seperti di Jakarta. Enaknya nglaras,” kata Mbak Ndari sambil duduk bersama kami di lobby Roemahkoe heritage hotel yang menerapkan gaya arsitektur khas Jawa berpadukan desain bangunan bergaya art deco. Nglaras artinya bersantai, tidak perlu buru-buru.

Gaya Eropa di Kraton Mangkunegaran
Maka demikianlah perjalanan saya dan teman-teman selama di kota yang juga populer dengan nama Surakarta ini. Jadwal perjalanan kami sama sekali tak ambisius dan lebih mengalir mengikuti waktu.
Apa yang disebut Mbak Ndari serupa dengan yang kami dengar dari pemandu wisata di Kraton Mangkunegaran. Kata dia, di Solo ada pesan, “Kesusu-susu selak ngopo, alon-alon ngenteni opo.” Yang maknanya kurang lebih, bahwa dalam hidup kita janganlah terlalu santai, namun jangan pula terlalu buru-buru. Pertemuan yang menyeimbangkan keduanya adalah yang terbaik. Selaras.
Seperti pesan itu, kisah-kisah Jawa yang bertebaran di berbagai sudut Solo memang luar biasa menarik untuk dinikmati. Ada banyak lagi filosofi hidup yang disimbolkan dalam berbagai wujud: tarian, perhiasan, batik… Kalau mau sejenak nglaras dan mendengarkan kisah-kisah itu, maka perjalanan ke Solo akan memperkaya kita.

Perhatikan detail kaca yang cantik di Kraton Mangkunegaran ini.

Halaman tengah Kraton Kasunanan, juga dengan patung bergaya Eropa
Sayangnya memang tidak semua sisi Solo terjaga dengan baik. Kraton Kasunanan, yang memiliki wilayah kekuasaan terluas, justru nasibnya sangat mengenaskan. Dibanding Mangkunegaran yang koleksinya tertata rapi walau hanya di satu ruangan, ruang-rung luas museum Kasunanan seperti sedang menjemput ajal. Gelap, berdebu, dan hampa. Setiap kami bertemu warga setempat, mereka selalu menyayangkan situasi ini. Kebanyakan juga sedih karena meyakini banyak koleksi Kraton Kasunanan yang dijual diam-diam oleh orang dalam. Meski demikian, Kraton Kasunanan tetap perlu dikunjungi untuk mengenal sebagian sejarah yang masih tersisa di ruang pamer.

Koleksi yang bersejarah, sayangnya tidak terawat

Serono di Kraton Kasunanan
Selain mengunjungi Kraton, perjalanan ke Solo akan kurang lengkap bila tidak mengunjungi Museum Batik Danar Hadi. Di museum ini tersimpan sekitar 1.000 koleksi batik kuno milik pendiri Danar Hadi, Bapak Santosa Doellah. Dia memiliki total sekitar 10.000 batik yang setiap tahun sekali dirotasi untuk dipajang di Museum Danar Hadi. Dulu, pengunjung bisa menyaksikan proses pembuatan batik di sini, namun sekarang tidak lagi karena menyesuaikan peraturan pemerintah.

Museum Batik Danar Hadi. Kita tidak bisa mengambil gambar di dalam museum yang menyimpan harta karun berwujud kain ini.
Dalam satu jam perjalanan, seorang pemandu akan menemani kita berkeliling menceritakan bagian demi bagian ruangan yang penuh dengan batik kuno. Memasuki ruang demi ruang di Museum Danar Hadi serasa masuk ke mesin waktu. Guliran cerita yang diungkapkan pemandu wisata membuat saya bisa membayangkan betapa cerdas dan kreatifnya bangsa ini dalam menyusun filosofi hidup melalui goresan canting di kain.
“Ini adalah batik Semen Rante,” ujar pemandu kami sambil menunjuk sebuah kain yang di beberapa bagiannya seperti terdapat gambar akar. “ Batik ini dipakai oleh perempuan untuk menunjukkan bahwa dia siap terikat dalam hubungan pernikahan dan siap membangun rumah tangga yang kokoh.”
Betapa batik juga bisa menebarkan nilai roman…
Perjalanan ke Solo dengan hadiah kisah-kisah filosofi Jawa itu pun berakhir. Saya dan teman-teman harus kembali ke Jakarta, di mana hidup serbacepat dan instan. Nglaras di Solo seperti jamu untuk menenangkan adrenalin kami yang sering dipacu kencang oleh kesibukan. (*)

Sempatkan juga mampir ke Pasar Tradisional Triwindu yang menjual barang-barang bekas dan antik
Foto-foto: Aziz Hasibuan