Setiap kali menceritakan bahwa saya baru saja mengunjungi Stanardsville, Virginia, di Amerika Serikat, wajah lawan bicara saya kebanyakan berubah dan mengernyitkan dahi. Tanggapan mereka antara lain, “Ngapain di sana?”, “Itu dimana yah?” atau “Nggak takut kejadian kayak di Texas Chainsaw?”
Faktanya adalah justru perjalanan ke kota kecil bernuansa desa ini yang menjadi highlight dari trip saya ke Amerika Serikat.
Stanardsville adalah kota di Virginia dengan luas sekitar 525,5 km persegi. Berdasarkan data sensus yang ditampilkan di USACityFacts.com, kota ini dihuni oleh 367 orang. Bandingkan dengan Surabaya, yang luasnya “hanya” sekitar 333 km persegi dan dihuni oleh lebih dari 2,8 juta penduduk. Selain sepi, untuk orang Asia, kota ini akan membuat kita merasa seperti “legal alien” karena -masih berdasar sensus yang sama-, tidak ada satu orang penduduk Stanardsville yang merupakan ras Asia. Pengunjung pun sangat jarang yang datang dari Asia.
Bagi saya, ini justru jadi daya tarik terbesar Stanardsville. Dengan suasana yang sangat berbeda dibanding kota Jakarta tempat saya tinggal, mengunjungi Stanardsville menawarkan hidup layaknya penduduk lokal di kawasan pinggiran Amerika Serikat. Atas alasan itu juga, saya memilih untuk tinggal bersama penduduk setempat, lewat bantuan Airbnb.
Induk semang tempat saya menumpang Whitt dan Martha Ledford adalah pasangan pensiunan yang menghabiskan waktunya dengan berkebun dan beternak. Whitt adalah mantan koki yang sudah bekerja di banyak restoran di berbagai belahan dunia dan Martha adalah mantan guru yang jago memasak dan membuat roti dan kue. Keduanya memiliki sepetak lahan untuk berkebun dan kandang berisikan ayam, domba, kambing, kalkun, bebek, dan babi.

Martha Ledford menjelaskan tentang rumah kaca yang sedang dia bangun. Tidak lama lagi akomodasi yang ini juga siap disewakan.
Saya dan dua orang teman perjalanan lainnya membayangkan bahwa menghabiskan masa pensiun seperti Whitt dan Martha tentu menyenangkan karena tidak terlalu banyak berpikir. Tinggal berkebun dan mengurus ternak tentulah santai. Pemikiran ngaco kami bahwa berkebung adalah santai segera pupus ketika Martha mengajak kami berkeliling.
“Kebun dan peternakan kecil kami di sini sangat alami. Setiap barisan tanaman di kebun diatur dengan fungsi yang berbeda. Misalnya, rosemary ditanam di barisan terluar untuk mengusir serangga, jadi kami tidak perlu pestisida. Lalu, ada beberapa tanaman yang berfungsi untuk mengangkat mineral tertentu dari bawah supaya tanah yang di atas lebih sehat bagi tanaman lain. Untuk pupuknya, kami pakai kompos dari kandang sendiri, yang juga kami olah sendiri. Dan tanaman yang kami hasilkan di sini selalu berbeda mengikuti musim agar hasilnya maksimal,” jelas Martha.
Seorang teman saya, Johannes Schragle, kemudian bertanya, butuh berapa lama bagi Martha untuk merencanakan kebunnya. “Satu tahun. Jadi, saya sudah tahu tahun depan akan menanam apa,” jawabnya. Jelas, berkebun bukan pekerjaan yang gampang, walau mungkin lebih seru daripada duduk mengetik di balik layar komputer.
Perjalanan kami berlanjut untuk melihat berbagai hewan ternak yang hidup bahagia karena kandang yang luas, bukan seperti hewan ternak yang hidup di bawah peternakan kapitalis dengan kandang-kandang sempit. Kita akan melihat ayam-ayam berlarian ke sana-sini dan bermain bersama kambing. Uniknya, kami tidak mencium aroma tak sedap kandang di sini.
“Kalau hewan-hewan ini hidup di lahan terbuka yang luas, kotoran mereka tidak akan berkumpul di satu tempat. Jadi, baunya tidak akan menyengat. Memang karena lahan terbuka, ada risiko dari hewan pemangsa. Karena itu kami punya Aslan, anjing ras Great Pyranees yang memang bertugas menjadi penjaga hewan ternak,” kata Martha.
Di Stanardsville juge terdapat beberapa peternakan yang bisa dikunjungi, mulai dari peternakan sapi hingga alpaca yang imut. Pemilik peternakan akan dengan senang mengantar kita berkeliling dan menjelaskan bagaimana mereka merawat hewan-hewan ternak dengan cara alami. (*)

Di musim panas, bulu-bulu alpaca dicukur agar tidak kepanasan. Bulu kemudian dijual untuk dijadikan benang.
(Seperti ditulis di harian Jawa Pos, Sabtu 25 Juli 2015)
Ingin tulisanmu dimuat di Jawa Pos? Submit tulisan minimum 500 kata dengan foto-foto dan tips perjalanan menarik. Cerita yang unik akan dimuat di halaman Traveling Jawa Pos yang terbit setiap Sabtu. Kirim ke traveling@jawapos.co.id beserta nama, nomor telepon, dan kartu identitas diri.
Baca juga:
Pingback: Makanan Serba-Alami | Casual Hopper
Pingback: Mampir ke Shenandoah | Casual Hopper
Pingback: Nashville dengan Broadway yang Berbeda | Casual Hopper
Pingback: Ke New York City saat USD Tinggi | Casual Hopper