
Pelabuhan kecil di Banda Besar. Pulau ini dulu menjadi saksi bagaimana rempah-rempah, khususnya pala menjadi pemikat dunia.
Sejarah dan legenda pala menyimpan kisah yang menarik sekaligus tragis. Bangsa kolonial berperang memperebutkan pala dan mengorbankan begitu banyak penduduk lokal. Pala juga menjadi bagian di balik cerita pilu seorang pangeran yang berusaha memperebutkan hati putri idamannya.
Ratusan tahun lalu, di abad ke tujuh, Banda Neira sudah harum namanya sebagai negeri pala. Saudagar asal Cina, Melayu, dan Arab berlayar ribuan mil dari negeri seberang untuk berburu buah berwarna kecokelatan ini. Mereka membeli pala dari Banda Neira, kemudian menjualnya kembali ke orang-orang di Eropa. Rempah ini disukai karena dapat menghangatkan badan dan juga dipercaya dapat menjadi obat serta pengawet makanan.
Berabad kemudian, di sekitar abad 18, pala menjadi komoditi yang luar biasa populer. Bangsa Inggris dan Belanda bersi tegang demi menguasai Kepulauan Banda Neira. Bagaimana tidak, di masa puncaknya, satu kilogram Pala bisa dihargai sama dengan satu rumah mewah di Eropa.
Belanda yang jadi pemenang terakhir. Mereka berhasil mengusir Inggris jauh-jauh dari Neira. Agar kekuatannya absolut, Belanda juga menukar pulau dengan Inggris. Satu-satunya pulau di kawasan Neira yang dikuasai Inggris, Pulau Run, ditukar dengan pulau New Amsterdam di Amerika yang ketika itu dikuasai Belanda. Kini pulau itu kita kenal dengan nama Manhattan di New York City. Belanda juga membunuh 44 orang kaya di Banda Neira agar tak lagi ada perlawanan dari masyarakat lokal.

Pulau Run yang ditukar dengan New Amsterdam.
Des Alwi, salah seorang tokoh besar asal Banda Neira, menyebutkan bahwa dengan uang hasil memonopoli pala, Belanda berhasil membangun kota-kota besarnya. Amsterdam dan Rotterdam adalah sebagian kota yang dibangun dari kekayaan Negeri Pala.
Rangkaian demi rangkaian cerita berebut pala ini saya dengarkan dari pemandu kami, Bang Chein -Nama aslinya Husein- sembari menelusuri bagian ujung Pulau Banda Besar, tempat di mana sisa-sisa Kebun Pala masih beroperasi.
Di antara pohon-pohon pala, cengkeh, kayu manis, dan kenari, Chein menunjuk satu butir pala yang jatuh. Saya ambil dan belah buah itu, lalu mendekatkannya ke hidung. Semerbak aroma pala langsung mengingatkan pada kehangatan dan harumnya dapur Ibu di rumah. Rasa yang menggugah selera. Keharuman ini juga yang lekat di memori Giles Milton, seorang penulis asal Amerika Serikat dalam buku populernya Nathaniel’s Nutmeg:
The island can be smelled before it can be seen. From more than 10 miles out to sea a fragrance hangs in the air, and long before the bowler-hat mountain hoves into view you know you are nearing land.
Di kebun pala ini, kami sudah ditunggu oleh Pak Effendi, salah seorang petani di Banda Besar. “Fam (Nama Keluarga) saya Salam,” ujarnya mengenalkan diri lalu menggiring kami ke bangku kayu sederhana di bawah salah satu pohon pala. Dia menunjukkan kepada kami beberapa produk kebunnya, pala yang sudah dikeringkan dan kacang kenari, sembari mempersilakan kami untuk mencicipi.

Buah pala yang sudah matang dan sudah terbelah. Seluruh bagian buah, mulai dari kulit luar, kulit dalam (berwarna merah dan mirip bunga), dan biji dapat dikonsumsi.

Kenari yang sudah kering dan siap dicicipi.
Pak Effendi kemudian mulai bercerita tentang pala yang dia anggap sama seperti manusia. Dia ibaratkan bahwa bila kita melukai tubuh (batang) pala, maka ia akan mengeluarkan darah (getah merah). Selain itu, “Pala ini ada laki-laki dan ada perempuan. Kalau kita mau tanam to, harus buka dulu ujung ini, lalu kita tanam menghadap ke atas. Ini palanya akan tumbuh jadi pala perempuan, tapi kalau terbalik, jadi pala laki-laki. Tidak akan bisa berbuah,” jelasnya dengan logat Maluku yang kental. Namun, Pak Effendi juga bilang, meski tak bisa berbuah, pala laki-laki juga wajib ditanam. Dari hasil pencarian saya di internet, sebuah blog menyebutkan:
…untuk mendapatkan hasil yang maksimal ternyata pohon pala jantan dan betina tersebut harus ditanam berdekatan dengan perbandingan jantan 1 dan betina 8, dengan cara ini pala betina dapat berbuah maksimal.
Pala juga menyimpan cerita roman. Kisah kehadiran pala berawal dari pencarian cinta seorang pangeran. Dikisahkan oleh Bang Chein dan Pak Effendi, si pangeran ingin menikahi putri cantik bernama Cilu Bintang. Agar diizinkan meminang, si pangeran diminta untuk membawa 99 buah emas. Karena bingung di mana harus mencari emas sebanyak itu, si pangeran pergi ke hutan. Di sanalah dia melihat buah berwarna cokelat keemasan. Lalu, pikiran cerdiknya menyebutkan, bahwa bila dia diminta membawa 99 buah emas, mengapa tidak dia bawa saja buah keemasan ini. Maka dia ambillah 99 buah tadi untuk diberikan kepada kerajaan asal putri idaman.
Ketika akhirnya menyerahkan 99 buah keemasan itu, raja pun murka. Sang pangeran dianggap penipu karena tidak membawa emas sesungguhnya. Pangeran pun ditangkap dan dibunuh. Buah-Bush itulah yang kemudian tumbuh di Banda Neira dan kemudian dinamai Pala. Tanpa raja ketahui, memang benarlah di kemudian hari, buah pala berharga lebih tinggi daripada emas.
Kisah ini dituturkan oleh Pak Effendi, namun saya belum menemukan sumber lain untuk dapat menyempurnakan isinya.

Pala yang sudah dikupas dan siap dikeringkan untuk ditanam kembali. Butuh sekitar lima tahun sampai pohon pala bisa berbuah.
Setelah bercerita, Pak Effendi memeragakan bagaimana cara dia memanen dan mengupas pala yang kemudian akan dikeringkan. “Kalau punya waktu panjang, kita bisa kasih cerita berjam-jam tentang pala,” katanya dengan keramahan dan senyum hangat khas Maluku.
Kami pun kembali melanjutkan perjalanan di Banda Besar sembari sesekali mencium aroma pala yang masih menempel di ujung jemari. (*)
Lihat video Pak Effendi berpantun khas Maluku di bawah sini:
Tapi kenapa ya sekarang harganya biasa aja gitu, murah.
Karena akhirnya pala diselundupkan ke banyak tempat dan ditanam masal, jadi sudah bukan jadi komoditi yang langka. Harganya langsung turun.
Terima kasih sudah mampir 🙂 Jangan lupa subscribe blog lewat email yah 😄
Saya tertarik untuk dapat menghubungi Bapak Effendi Salam
Bagaimana saya bisa memperoleh kontak beliau?
Salam.
Prieyo Pratomo
Mas Prieyo, mohon maaf, Pak Effendi memang tidak menggunakan handphone. Kalau boleh tahu, apa bisa diinfokan kebutuhan Mas Prieyo? Mungkin bisa saya bantu koneksikan dengan guide di Bandaneira. Thanks